Rabu, 18 Maret 2015

Mengendalikan Risiko Dengan "RISK TRANSFER" Dalam Proyek Konstruksi

Resiko memang dapat ditransfer…bentuknya dapat bermacam-macam. Risk Transfer adalah salah satu strategi penanganan resiko. Tapi jangan sampai salah kaprah dengan mengalihkan keseluruhan resiko kepada pihak lain, karena justru akan menyulitkan diri sendiri.
    Telah kita ketahui bahwa terdapat begitu banyak resiko yang terdapat dalam proyek terlebih pada proyek konstruksi. Resiko proyek yang tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan proyek menjadi gagal. Resiko proyek harus dikendalikan berdasarkan level dan prioritasnya. Pengendalian resiko akan membuat tim proyek percaya diri dalam melaksanakan proyek. Tim proyek tak perlu terlalu pusing jika resiko terjadi karena telah diantisipasi.
      Dalam menangani resiko ada suatu kaidah penting yaitu bahwa resiko harus dipahami sebagai suatu hal yang alamiah terjadi. Resiko akan lebih baik diindentifikasi seawal mungkin berdasarkan fase siklus hidup proyek. Di samping itu bahwa resiko haruslah diantisipasi. Dalam hal antisipasi resiko, faktor yang paling penting adalah mengalokasi resiko yang telah diidentifikasi secara sesuai kepada pihak-pihak yang paling mampu untuk mengatasinya. Inilah strategi penanganan resiko yang paling jitu selama ini yang dikenal dengan istilah risk transfer.

     Risk transfer adalah suatu proses yang mengalihkan resiko yang telah diidentifikasi kepada pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan suatu proyek. Seperti yang telah disebutkan bahwa prinsip utama dalam mengalihkan resiko adalah dengan memperhatikan kesesuaian atau kemampuan pihak-pihak yang terlibat yang akan menerima resiko tersebut. Kenapa? Karena memang pada dasarnya resiko sudah memiliki tuannya sendiri. Menempatkan resiko tidak pada tuan yang sebenarnya, akan berdampak pada tidak terkendalikannya resiko tersebut atau resiko tersebut akan kembali lagi pada tuannya yang sebenarnya.

   Contoh sederhana adalah pada kasus keterlambatan pembayaran oleh owner kepada kontraktor. Seringkali owner memaksakan diri membayar selama mungkin dalam klausa term of payment di kontrak. Jika pembayaran yang normal adalah setiap bulan dan dilaksanakan H+7 hari setelah kuitansi pembayaran diterima, biasanya owner menawar dengan H+30 hari atau bahkan H+45 hari. Padahal kita ketahui bahwa kontraktor adalah perusahaan jasa konstruksi dan bukanlah perusahaan jasa keuangan. Sehingga term of payment tersebut akan dihitung kontraktor sebagai biaya atau cost of money. Bunga akibat lambatnya proses pembayaran akan diperhitungkan. Jika owner berharap akan mendapatkan bunga deposito dengan menahan pembayaran ke kontraktor, maka ini berlaku sebaliknya karena kontraktor akan memperhitungkan bunga dalam bentuk bunga pinjaman. Pada akhirnya biaya tersebut kembali lagi ke owner dan bahkan dalam bentuk yang lebih besar. Resiko akhirnya kembali pada tuannya karena resiko pembayaran adalah tanggung jawab owner bukan kontraktor.

    Lain halnya pada kasus kenaikan harga atau inflasi. Seringkali di kontrak, owner membuat draft kontrak bahwa kenaikan harga sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor, apapun alasannya. Kita ketahui bahwa kenaikan harga material bukanlah dibawah kendali kontraktor. Ini perlu ditegaskan karena ada beberapa pelaku proyek yang pernah mengatakan bahwa kontraktor adalah pihak yang telah mengetahui informasi kenaikan harga material. Ini pendapat yang perlu diluruskan. Kalaupun kontraktor mengetahui, belum tentu tahu berapa besaran kenaikan harga tersebut. Jika klausul kontrak tersebut tidak dapat diubah, maka kontraktor akan mengasumsikan dengan asumsi yang paling aman atas kemungkinan kenaikan harga material yang seringkali menjadi terlalu tinggi. Akibatnya, harga menjadi terlalu tinggi. Siapa yang menanggung harga tersebut, jawabnya adalah owner. Sekali lagi resiko akan kembali pada tuannya yang sebenarnya.

    Berdasarkan penjelasan di atas, perlu bagi kita untuk berlaku bijaksana mengenai alokasi resiko. Pihak-pihak yang terlibat dalam proyek haruslah paham mengenai prinsip tersebut. Alokasi resiko haruslah diberikan pada pihak yang paling mampu untuk mengendalikan resiko tersebut atau dalam bahasa sederhana bahwa resiko harus dikembalikan kepada tuannya. Kesalahan dalam melakukan alokasi resiko akhirnya akan berdampak pada kerugian yang seringkali lebih besar. Jika resiko tersebut aspeknya adalah biaya, maka biaya yang muncul tersebut bisa dikatakan hidden cost yang tidak disadari. Dapat disimpulkan bahwa menempatkan resiko kepada pihak yang tepat akan membuat biaya pelaksanaan menjadi lebih murah.

Lalu apa saja bentuk dari risk transfer tersebut? Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam rangka risk transfer, yaitu:

1. Asuransi.   
   Memindahkan resiko ke pihak asuransi adalah tindakan risk transfer yang telah sering dilakukan. Prinsip utama dalam melakukan asuransi terhadap resiko adalah bahwa resiko tersebut tidak dapat dikendalikan dan dihitung besarannya oleh kontraktor. Seperti bencana alam, kecelakaan kerja, kehilangan, dan lain-lain. Resiko yang dialihkan kepada pihak asuransi adalah resiko yang tidak satupun pihak lain dalam proyek yang mampu untuk mengatasinya. Resiko ini harus ditanggung oleh kontraktor dan kontraktor harus pula mengalihkannya sebagai bagian dari manajemen resiko kepada pihak asuransi. Kenapa dialihkan kepada pihak asuransi?pertama, jika kontraktor yang menanggungnya, maka asumsi biaya atau risk contigency menjadi tinggi. Bayangkan bila kontraktor mengasumsikan biaya bencana alam seperti tanah longsor akibat kejadian pekerjaan galian pada musim hujan. Biayanya tentu sangat besar padahal kejadian tersebut sebenarnya bersifat probabilistik. Kedua, pihak asuransi adalah pihak yang ahli dalam mengelola resiko dengan karakteristik seperti itu. Pihak asuransi akan mengasuransikan sejumlah proyek atas resiko-resiko tersebut dengan fee tertentu. Resiko tersebut akan terjadi hanya pada 1 atau 2 proyek saja. Sehingga dari sekian banyak proyek yang dicover, fee yang terkumpul akan mampu membiayai resiko yang terjadi. Pihak asuransi mengambil keuntungan atas perhitungan probabilitas kejadian resiko dan fee tersebut. Pada akhirnya, biaya resiko menjadi sangat kecil untuk diperhitungkan dalam harga proyek karena telah dikelola oleh pihak asuransi.
2. Mensubkontraktorkan.  
   
    Tindakan ini juga sering dilakukan oleh kontraktor. Dengan melakukan subkontraktor, maka pekerjaan yang sulit dan membutuhkan spesialisasi akan dikerjakan oleh subkontraktor termasuk resiko-resiko yang mungkin terjadi di dalamnya. Resiko tersebut, biasanya mampu diatasi oleh subkontraktor dengan baik dibandingkan oleh kontraktor sendiri. Dengan demikian, terjadinya resiko tidak membuat kontraktor dan subkontraktor rugi. Apabila pekerjaan yang sulit dan membutuhkan spesialisasi tersebut dikerjakan oleh kontraktor, maka kontraktor akan berpeluang mendapatkan kerugian. Jika biaya resiko tersebut diperhitungkan dalam harga kontrak maka harga kontrak akan naik atau proyek menjadi lebih mahal, disamping ada potensi pekerjaan terlambat dengan mutu yang tidak sesuai target. Melakukan subkontraktor juga adalah tindakan dalam rangka mengatasi kompleksitas proyek. Pekerjaan proyek akan dilakukan lebih mudah jika banyak pekerjaan yang telah disubkontraktorkan.

 
3. Mengubah klausul kontrak. 
 

  Seperti yang kita ketahui bahwa klausul kontrak adalah media yang mengatur alokasi resiko. Jika terdapat dalam klausul kontrak akan alokasi resiko yang tidak sesuai atau tidak tepat yang dapat berdampak pada kegagalan proyek, maka masing-masing pihak yang terlibat dalam kontrak harus bernegosiasi dalam mengubah klausul kontrak tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar